TANPA pamrih. Tanpa beban. Tanpa lelah. Semua diberikan
dengan tulus dan ikhlas. Sepanjang waktu. Sepanjang masa. Tidak akan
pernah hilang bahkan ditelan kematian. Selalu ada.
Seorang ibu membacakan tulisan yang dikirimkan oleh anak gadis tertuanya
yang sedang sekolah di luar negeri di hadapan sekitar 30 orang ibu-ibu
lainnya yang kebanyakan akan mengirimkan anak-anak mereka sekolah ke
luar negeri pula. Saya pun hadir di sana sebagai seorang guru menulis
yang akan mengajarkan anak-anak mereka untuk menulis dengan baik dan
benar. Tulisan yang dibacakannya itu sangat indah namun sangat menyayat
hati. Menyentuh sukma setiap orang yang hadir di sana dan membuat kami
semua pun tidak kuasa untuk tidak membendung air mata. Kami semua
menangis.
Di dalam tulisan itu diceritakan bagaimana dan apa yang sedang terjadi
dan sedang dirasakan oleh seorang perempuan muda berusia 21 tahun, yang
tinggal sendirian di luar negeri. Segala kepahitan, kegetiran,
penderitaan, serta penyakitnya dicurahkan dalam tulisan itu. Sebagai
anak tertua yang selalu merasa harus memberikan yang terbaik bagi orang
tua dan adik-adiknya, merasa telah gagal. Menderita depresi akut
sehingga kemudian menderita anoreksia yang sangat parah. Berat badannya
pun terus menyusut hingga tinggal 36 kilogram saja. Ginjalnya pun
kemudian harus dioperasi karena kemudian ditemukan batu ginjal di
dalamnya. Sangat berat!!!
Perempuan muda ini sebetulnya sangat “spesial” di mata saya. Cantik dan
sangat pintar. Semua nilainya di atas rata-rata. Sejak kecil, lho!!!
Tulisan serta lukisannya pun sangat indah. Kepribadiannya juga sangat
luar biasa. Mudah bergaul dan sangat ramah. Penuh dengan cinta yang siap
diberikan kepada siapapun yang datang mendekat kepadanya. Bila kita
melihat perempuan ini, kita akan merasa seperti melihat seorang
malaikat. Sangat indah dan luar biasa. Namun ternyata, di balik semua
itu, dia ternyata adalah seorang perempuan muda yang sangat rapuh.
Seorang perempuan yang sedang kebingungan mencari identitas serta jati
dirinya sendiri. Keinginannya untuk “menemukan” siapa diri dia yang
sebenarnya, membuatnya hancur lebur. Memang perlu kejujuran dan proses
yang tidak mudah untuk bisa menemukannya. Tetapi, saya yakin sekali, dia
pasti bisa. Bisa!!!
Sebetulnya yang ingin saya ceritakan di sini justru bukan soal perempuan
muda itu, tetapi justru soal cinta kasih dan sayang sang ibu. Seorang
ibu yang berani berterus-terang mengungkapkan apa yang telah terjadi
kepada anaknya dan membaginya dengan yang lain agar tidak dialami oleh
ibu-ibu yang lain. Butuh nyali untuk bisa menceritakan apa yang
seringkali dianggap orang sebagai sebuah “keburukan” dan “kegagalan”
seorang ibu. Butuh juga jiwa yang besar untuk mau mengakui kesalahan dan
menerima semuanya ini dengan hati yang terbuka dan lapang dada.
Sementara di luar sana, berapa banyak orang tua yang malu, menolak, atau
menutupi kesalahan atau perbuatan buruk yang dilakukan oleh anaknya
sehingga masalahnya tidak pernah selesai dan justru akan terus
berlarut-larut?! Kejujuran memang sangat mahal harganya, ya! Pembenaran
dan alasan selalu ada.
Banyak sekali kasus terjadi di mana seorang anak kemudian menjadi di
luar kendali ataupun di luar harapan orang tua. Mereka menjadi orang
yang “berbeda” dan seringkali membuat pusing orang tua. Tak jarang orang
tua kemudian berkata, “Saya sudah memberikan semuanya untuk kalian,
tetapi apa yang telah kalian berikan sebagai balas budi?”. Apa ini akan
menyelesaikan masalah? Mungkin bisa untuk waktu yang sesaat tetapi
pernahkah terpikir apa yang akan terjadi bila kemudian kita sebagai
orang tua telah meninggalkan dunia? Akankah mereka bisa tetap menerima
semua ini?
Secara tidak sadar sebetulnya justru orang tualah yang menjadi penyebab
terjadinya “bencana”. Niatnya, sih, baik, tetapi seringkali justru
berakhir berantakan. Contohnya saja dengan memberikan anak les ini, les
itu. Les piano, les menggambar, les berenang, dan masih banyak lagi.
Tetapi, apakah sebetulnya itu yang anak kita inginkan? Belum tentu, kan?
Apalagi kalau kemudian tempat lesnya, biarpun mahal, bisa saya bilang,
asal mengajar saja. Saya sering menemukan sekolah menggambar dan melukis
yang menuntut muridnya untuk menggambar persis seperti yang diajarkan
oleh gurunya. Gunung itu harus begini, pohon itu harus hijau, awan itu
harus putih, sementara imajinasi anak sendiri dimatikan. Otak kirinya
yang terus dipaksakan untuk bekerja, dan fungsi otak kanannya justru
malah dimatikan. Apa yang terjadi? Stress!!! Stress ini kemudian
menumpuk karena anak kecil sulit untuk mengekspresikannya, terutama bila
orang tua tidak mau berusaha untuk mengoreknya lebih dalam lagi. Saat
mereka menginjak remaja dan dewasa, terjadilah penumpukan yang sangat
luar biasa dan pada akhirnya meledak tidak karuan. Lantas kemudian,
kalau sudah terjadi kekacauan, anak lagi yang disalahkan. Lalu, kapan
anak ini akan sembuh dan terbebas dari segala penderitaannya?
Perilaku seksual adalah bukti yang paling nyata dari efek psikologis
yang ditimbulkan setelah apa yang terjadi dan dengan penumpukan stress
seperti itu. Banyak sekali orang yang berperilaku seksual menyimpang
diakibatkan oleh faktor psikologis. Lingkungan juga menjadi faktor
pendukung utamanya. Tidak harus yang menyimpanglah, ya, yang secara
medis sajalah. Impotensi!!! Frigid!!! Apa penyebab yang paling
utamanya?! Stress!!! Psikologis!!! Biarpun banyak juga yang karena
faktor kesehatan, tetapi jauh lebih besar penderita impotensi adalah
akibat stress dan masalah kejiwaan. Apa kita rela anak kita menderita
seperti itu?
Tidak salah bila sebagai orang tua kita memiliki banyak sekali harapan
dan cita-cita, tetapi janganlah kita memaksakan anak-anak kita itu untuk
menjadi “kita”. Biarkanlah mereka menjadi diri mereka sendiri. Mereka
bukan milik kita. Mereka hanyalah titipan dari Sang Ilahi. Adalah
kewajiban kita untuk memberi tetapi bukanlah hak kita untuk menuntut.
Anak adalah anak. Kita adalah kita. Menurut saya, hanya dengan menemukan
siapa diri mereka yang sebenarnyalah mereka bisa menjadi bisa lebih
kenal dan lebih dekat dengan Sang Pencipta. Bukan oleh kita, tetapi oleh
diri mereka sendiri.
Cinta kasih orang tua adalah sepanjang masa. Sudah sepatutnya juga
dikenang sepanjang masa. Memberikan kebahagiaan tersendiri bagi seorang
anak dan generasi berikutnya. Adalah warisan yang jauh lebih besar
nilainya dibandingkan dengan harta yang berlimpah, tumpukan berlian,
tanah dan rumah yang tersebar di mana-mana. Ketulusan dan keikhlasan
hati dan rasa terhadap cinta yang sesunguhnya tidak pernah bisa ditukar
dan dinilai dengan apapun juga. Jadilah orang tua yang penuh dengan
cinta dan kasih sayang, ya!!!
Minggu, 25 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar